Jumat, 13 Desember 2019

Awan Hitam di atas Pajang


Prolog
Di kaki gunung Lawu sebelah utara, termasuk wilayah Kadipaten Madayin, terdapat sebuah lembah yang penuh dengan hutan lebat, dan jarang didatangi manusia. Lembah itu terkenal sebagai tempat keramat. Karena sudah ada beberapa orang tewas ketika berani mendekati tempat itu. 

Kabar yang tersiar bahkan menjadi mitos sebagai tempat yang wingit, sato mara sato mati, janma mara janma tumekeng lampus. Itulah sebabnya tidak ada seorangpun yang berani memasuki Lembah Ketangga.

Jauh di bawah kaki lembah arah tenggara, membentang luas sebuah hamparan pasir dan lebih mirip lautan pasir, tempat itu dinamakan Telaga Pasir, yang nampak indah menakjubkan. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, segala sesuatu tampak jelas dan indah. 

Memang tak mengherankan kalau orang tidak berani mendekati lembah itu, apalagi mendekati sebuah bangunan kuna yang tampak angker dan wingit. Sayang bangunan itu tidak terawat kini penuh dengan lumut hijau dan tumbuhan liar, konon bangunan tersebut merupakan tempat persembunyian, benteng pertahanan yang dibangun oleh Raja Sanjaya.

Pertikaian kedua wangsa antara wangsa Sanjaya dengan wangsa Syailendra, yang berlarut-larut, dan keadaan wangsa Sanjaya ini menjadi semakin terdesak, kemudian melarikan diri ke arah timur.
Kemenangan yang diraih oleh wangsa Syailendra karena Raja Syailendra itu dibantu pasukan dari Kerajaan Kamboja. Sebenarnya, wangsa Syailendra dimanfaatkan oleh Raja Kamboja Raja Jayawarman II, mereka mau membantu Raja Syailendra, bukannya tanpa alasan.

Pada masa kejayaan Wangsa Sriwijaya pernah menyerbu kerajaan Kamboja, dan pada saat itu Kamboja bertekuk lutut, bahkan kerajaan Kamboja menjadi Negara jajahan Raja Sriwijaya. Akibat dari eksploitasi ini, penduduk Kamboja nyaris pindah ke Kerajaan Sriwijaya, yang akhirnya mereka menetap menjadi penduduk di Semenanjung Melayu, Sumatra dan sebagian Jawa. 

Setelah dinasti yang ditumbangkan oleh Raja Sriwijaya itu dipegang oleh keturunan Raja Jayawarman II, dan di Nusantara pun juga sudah beralih dari dinasti Sriwijaya ke generasi Syaelendra, yang kemudian terpecah menjadi dua yakni wangsa Sanjaya yang menguasai bagian selatan, dan wangsa Syaelendra menguasai bagian utara.

Meski bangunan itu secara geografis menjadi wilayah kasultanan Pajang, namun tempat itu sebenarnya lebih dekat dengan Kadipaten Madayin, dalam kekuasaan Adipati Rangga Jumena.
Adipati Rangga Jumena adalah seorang Pangeran, keturunan dari Pangeran Sekar Seda Lepen adik raja Demak ke II Pati Unus. Sepeninggal Sultan Demak II, kala itu terjadi suksesi karena kekosongan pengganti Raja. Perebutan kekuatan antara Pangeran Sekar dengan saudaranya Pangeran Trenggono.

Adipati Rangga Jumena adalah adik Pangeran Harya Penangsang, ia seorang yang ambisius, dan mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara para Adipati di Brang Wetan yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu. Adipati Rangga Jumena pernah menyerbu ke Kasultanan Pajang, dengan harapan untuk menegakkan kembali kebesaran keturunan wangsa Demak seperti pada masa lalu.
Namun apa yang terjadi ? cita-citanya gagal dan kandas di tengah jalan dan kini Adipati Rangga Jumena hanya puas dengan menjadi raja kecil di kadipaten Madayin perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adipati Rangga Jumena memperbaiki puing-puing benteng pertahanan yang ada di lembah Ketangga, dan memberikan kepada kedua orang gurunya, yaitu Nyai Gumbreg dan Ki Jugil Awar-awar. Kedua orang ini merupakan orang terkemuka dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Ki Jugil Awar-awar seorang tokoh sakti dari Gunung Sumbing, dia memiliki sebuah padepokan yang terletak di bawah puncak gunung, pada sisi barat. Padepokan itu lebih tepat disebut sebuah gua yang besar menganga menghadap ke barat, ke arah Gunung Sindoro.

Sedangkan Nyai Gumbreg adalah seorang nenek sakti, yang tinggal di pegunungan Kendeng, dia juga memiliki sebuah padepokan. Beberapa muridnya yang dapat diandalkan kesaktiannya hanya ada dua orang yaitu Jengges Kapakisan ini murid laki-laki tertua, setelah beberapa tahun berguru pada Nyai Gumbreg minta ijin gurunya untuk turun gunung dan melakukan pengembaraan entah kemana. Murid yang kedua adalah Adipati Rangga Jumena.

Ketika Adipati Rangga Jumena melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hadiwijaya, ia mengalami kegagalan, meski telah dibantu oleh orang-orang sakti seperti gurunya dan ki Jugil Awar-awar.

Pada saat itu pasukan dari Pajang dibantu oleh para pendekar yang dipimpin oleh Ki Ageng Wanabaya. Dalam pertempuran itu Ki Jugil Awar-awar tewas.Kalau saja Adipati Rangga Jumena tidak muncul menyelamatkannya, tentu Nyai Gumbreg yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Nyai Gumbreg yang terluka itu dibawa pergi oleh Adipati Rangga Jumena, meninggalkan Lembah Ketangga, dan padepokan itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan.***

PADA malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan di lembah ini, sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita itu masih muda, usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah berpotongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat.
Wanita itu bernama Rara Sedah Mirah. Dia adalah anak dari Demang Jalegong, di lereng timur gunung Merapi. 

Sebagai seorang wanita muda yang memiliki kepandaian dalam ulah kanuragan, juga terkenal di kalangan masyarakat dilereng selatan Gunung Merapi, dia diberi nama panggilan si Walet Merah. Karena memang memiliki kelincahan dalam gerak tubuh yang ringan, yang bergerak cepat seperti burung Walet, serta selalu mengenakan pakaian yang berwarna Merah.

Dalam acara Merti-desa itu, apalagi pada malam hari itu dalam suasana yang hiruk pikuk, orang hanya tertuju pada hiburan yang sedang berlangsung, yakni sebuah Tayub seni tari yang terkenal pada masa itu. Ketika mereka menyantap hidangan makanan sama sekali tak diketahui bahwa hidangan yang disajikan itu bercampur racun aneh. 

Namun siapa orangnya yang telah menaruh racun tersebut tak ada seorang pun yang mengetahuinya, racun yang mampu membangkitkan gairah bercinta. Ketika Rara Sedah Mirah diajak menari bahkan irama gamelan gending Gondang Keli yang semakin memancing gairah, dia pun tidak menolak. Lelaki itu makin tenggelam dalam amukan nafsu berahi sebagai pengaruh kuat dari racun dewi cinta, demikian pula Rara Sedah Mirah, gelora nafsu berahinya pun memuncak, sehingga terjadilah hubungan layaknya suami istri. 

Mereka menganggap bahwa dunia ini hanyalah miliknya berdua, orang lain sudah tidak dipedulikan lagi, bahkan sepasang mata yang memandanginya.

Setelah sadar, tentu saja pemuda itu merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Rara Sedah Mirah sebagai kekasih atau jodohnya, lelaki ini meninggalkan Rara Sedah Mirah yang hatinya menjadi hancur. Wanita itu kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan! 

Rara Sedah Mirah kehilangan segala-galanya. Keluarganya setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, ayah dan ibunya tidak mau mengakuinya, kedua orang tuanya mengusir dari desanya. Kini wanita itu hanya sebatangkara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia telah dibawa pergi oleh lelaki itu.

Rara Sedah Mirah kini menjadi penghuni tunggal di Benteng Kuno Lembah Ketangga. Mula-mula dia memang bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari keramaian masyarakat, dengan harapan akan dapat melupakan pemuda dari padepokan Gunung Merbabu.

Gairah hidupnya mulai timbul kembali, sehingga dia mulai memperhatikan dirinya dan membuat pakaian dari bahan-bahan kain yang terdapat di dalam Benteng Kuno, yahng telah ditinggalkan penghuninya. Ia mulai menyulam dan akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung!

Makin tua kandungannya, makin tertekan rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Setelah tahu bahwa dirinya mengandung, mulai terjadi perubahan dalam kehidupan Rara Sedah Mirah. Kini menjadi merana dan tidak memperdulikan pakaiannya sehingga Rara Sedah Mirah berkeliaran di sekitar Benteng Kuno Lembah Ketangga dengan pakaian yang kotor, dan sikapnya seperti orang yang sudah miring otaknya!

Memang pernah terlintas dalam pikiran Rara Sedah Mirah, dalam keputus asaannya, untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan bunuh diri. Namun pada akhirnya, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apapun juga alasannya, Rara Sedah Mirah tidak sampai hati untuk bunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan.Rara Sedah Mirah tidak tahu bagaimana harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya.

Untuk pergi ke dusun di sekitar kaki pegunungan itu, merasa malu sekali. Dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Rara Sedah Mirah hanyalah Sang Penguasa Alam Semesta, dan dalam kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Tuhan yang Maha Bijaksana yang diharapkan sebagai penolongnya.

Setelah Rara Sedah Mirah menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya telah tiba dia segera keluar dari Benteng Kuno itu. Rara Sedah Mirah tidak mau mengotori Benteng yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandungannya! Dia lalu pergi meninggalkan Benteng itu dan tinggal di dalam sebuah gua, tidak jauh dari tempat itu.

Di sekitar Padepokan Lembah Ketangga itu terdapat banyak sekali kera. Rara Sedah Mirah tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri tidak pernah kekurangan makanan. Di situ terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman, sayur-sayuran dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lain.

Maka tidak mengherankan apabila binatang-binatang itu menjadi jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Rara Sedah Mirah. Apalagi monyet-monyet yang besar, mereka juga tidak pernah mengganggu Rara Sedah Mirah.

Sementara itu, dari dalam sebuah gua yang besar dan gelap terdengar rintihan, yang keluar dari mulut Rara Sedah Mirah. Wanita muda ini rebah terlentang di dalam gua, di atas tanah dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding gua. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup jubah panjang karena dia telah melepaskan celananya. Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan, dan pada saat tertentu Rara Sedah Mirah menyebut-nyebut ibu dan ayahnya! Air mata bercucuran, bercampur dengan peluh yang memenuhi dahi dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.

Rara Sedah Mirah yang masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, lidahnya merijilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang kering, kemudian dengan mata masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya, “Air... air... aku haus... air...!” Tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya.
“Air... aku ingin minum...!” Dia kini berseru nyaring.

“Ibu... ayah... aku ingin minum...! Gunturgeni, tolong ambilkan air...!” Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari gua. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, “Guntur Geni...!”

Sedah Mirah merangkak ke luar gua.
Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar gua, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Gunturgeni. Diangkat kedua tangannya ke atas, menghadap bulan.
“Gunturgeni... Gunturgeni... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan lahir... ohhh!”

Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam guha karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia merebahkan diri lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu ke atas batu dinding guha.

Rasa nyeri yang mulai lagi datang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya makin pucat dan dia memejamkan mata, mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih. Pikirannya tidak sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu! 

Setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, dan menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam gua. Rara Sedah Mirah merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, matanya berkunang-kunang, keringat mengalir deras dri seluruh tubuhnya. Seluruh kekuatan tubuhnya bekerja keras untuk mengeluarkan jabang bayi dari dalam perutnya, maka perasan gembira, lega, haru bercampur aduk menjadi satu, dia mengeluh dan pingsan.***

KELAHIRAN yang terjadi di dalam guha itu, yang dialami oleh Rara Sedah Mirah, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun tidak tampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya. Rara Sedah Mirah pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada aturan alamiah itu.

Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan dalam diri Rara Sedah Mirah, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darahpun berhenti mengalir. Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi raga dan lebih-lebih jiwanya, yang membuat Sedah Mirah tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam gua yang amat sunyi itu.

Dia menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka secara perlahan. Sinar mata yang lesu menerawang langit-langit gua, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringat akan peristiwa yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.

“Ahh...!”

Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Karena tubuhnya sudah mulai pulih kekuatannya, dia lebih tenang dan sambil duduk Rara Sedah Mirah, dia merenung beberapa waktu, padahal tadi setelah melahirkan dia sempat melihat ada sesuatu benda yang tergolek diantara kedua pahanya. Sedah Mirah yakin bahwa benda yang tergolek diantara kedua pahanya itu jelas jabang bayi yang telah dikeluarkan dari dalam perutnya. Kini dia merasa perutnya telah mengempis kosong. 

Dia juga merasakan ada cairan dingin di bawah tubuhnya. Tetapi mengapa kini jabang bayi itu tidak ada. Siapakah yang mengambil anak bayinya? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambilnya? Mudah-mudahan begitu, pikirnya penuh harap. Kalau Guntur Geni yang datang, mengapa lelaki membiarkan saja dia pingsan tanpa menolongnya? Tetapi kalau Guntur Geni itu tidak mungkin, nama itu dibantah sendiri olehnya.

Yang dapat melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Siapakah yang akan melakukan seperti itu kepada anaknya? Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Ki Jugil Awar-awar, semua telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pendekar sakti.

Hanya Nenek Iblis Nyai Gumbreg seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu, tetapi dia telah pergi bersama muridnya, yaitu Adipati Rangga Jumena. Nenek itukah yang melakukannya? Sedah Mirah bergidik kalau teringat pada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir.

Rara Sedah Mirah bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar gua. Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Nyai Mantyasih, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apalagi Rara Sedah Mirah. Andaikata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apa yang dapat dia lakukan terhadap nenek itu? Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Dan Sedah Mirah teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang syaratnya untuk dikuasai adalah makan dan minum darah bayi yang baru terlahir.

Dia bergidik dan menangis lagi. Dalam hatinya hanya berharap, Guntur Genilah yang mampu untuk mengalahkan Nenek Iblis itu. Setelah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam gua.
Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Rara Sedah Mirah hidup makin tidak peduli lagi. Pakaiannya jarang diganti, tubuhnya kurus, mukanya pucat, dia lebih sering tidur di dalam kamar di puing Benteng Kuno Lembah Ketangga, bermalas-malasan dan hanya kalau terasa sangat lapar saja, dia terpaksa keluar mencari bahan makanan.

Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan dan kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh. Sebelum terjadi peristiwa dengan Guntur Geni di Lembah Ketangga, Rara Sedah Mirah adalah seorang dara cantik manis angkuh, yang mengandalkan kepandaian dan merasa tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!

Sebetulnya Rara Sedah Mirah bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid orang jahat. Ayahnya bernama Jumangil adalah seorang Demang di kademangan Jalegong, seorang yang terkenal gagah dan jujur. Sedah Mirah diusir dari kademangan Jalegong, diusir oleh ayahnya sendiri Demang Jumangil yang terkenal dengan panggilan Demang Jalegong. Sebagai seorang yang dihormati di Kademangan Jalegong, merasa malu karena anaknya hamil di luar nikah.

Rara Sedah Mirah tidak dapat membawa kehadiran Guntur Geni, lelaki yang pernah menggaulinya, dan membuahkan hasil dalam perutnya. Alasannya memang sederhana, karena Guntur Geni tidak dapat diketahui keberadaannya, meski Guntur Geni adalah masih keluarga besar Padepokan Arga Merbabu, bahkan putra dari Ki Ageng Wanabaya, tetapi dia juga telah diusir oleh orang tuanya. Sehingga tidak dapat diketahui dengan jelas, kemana tujuannya setelah meninggalkan Padepokan Arga Merbabu.

Kandungan dalam perut Rara Sedah Mirah semakin membesar, namun tidak ada yang bertanggung jawab. Ki Demang sebagai orang yang terpadang tentu merasa jengah dengan keadaan putrinya, maka demi menjaga kehormatan dirinya, Ki Demang Jalegong mengusir putri satu-satunya dari Kademangan Jalegong. Tiga bulan setelah kepergian Rara Sedah Mirah, tesiar berita bahwa kademangan Jalegong terjadi huruhara, perampokan besar-besaran oleh golongan sesat dari Nusakambangan. Sebagai seorang Demang yang harus melindungi warganya, ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal.

Sejak kecil Sedah Mirah dididik oleh Nyai Mantyasih dari Padepokan Kembang Sore, yang terletak di seberang barat Bengawan Kembang Sore. Sayangnya, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti manusia yang lain, tetap memiliki kelemahan. Ketika Nyai Mantyasih ini bertemu dengan seorang pendekar Jagratara dari Lembah Tidar, seorang pendekar yang bersikap lemah-lembut, yang di waktu mudanya memang tampan sekali, Rara Mantyasih tidak kuat menahan gelora hatinya! Demikian pula Pendekar Jagratara, ketika bertemu dengan Rara Mantyasih. Kedua pendekar Jagratara dan Rara Mantyasih yang samasama lajang, meski usianya memasuki empat puluh tahun dan keduanya sama-sama tertarik oleh sebuah kekuatan energy yang mengacaukan pikiran kedua orang itu.

Mereka tidak dapat menahan nafsu berahi mereka dan terjadilah hubungan seksual! Apakah ada bedanya antara tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri? Apakah mereka itu berpendidikan atau tidak ? pada kenyataannya naluri binatang lah yang menguasai manusia yang berbeda jenis, ketika mereka itu berduaan, dan tidak ada orang lain, apalagi pada tempat yang sepi dan sunyi.
Pada saat terjadi permainan cinta, kita sudah tidak bisa membedakan lagi bahwa sanggama itu dilakukan berdasarkan cinta, atau nafsu berahi, bahkan dunia seolah menjadi gelap, hanya kedua merekalah yang mengetahuinya.

Baik Mantyasih maupun Jagratara, keduanya bukan pula termasuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Keadaanlah yang menyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang kakak seperguruan dari ki Jagratara yang bernama Jebeng Plampitan, telah tewas di tangan Pemerintah Pajang. Untuk membalas dendam kematian saudara seperguruannya inilah maka ki Jagratara sampai bermusuhan dengan ketua Padepokan Arga Merbabu, yaitu ki Ageng Wanabaya!

Dan karena Nyai Mantyasih dari Gunung Kendeng adalah kekasih dari ki Jagratara dari lembah Tidar, maka tentu saja Nyai Mantyasih membela kekasihnya. Dan untuk mengahadapi Ki Ageng Wanabaya dan keluarganya yang memiliki kesaktian tinggi, maka Nyai Mantyasih dan ki Jagratara, terpaksa bergabung dengan Ki Jugil Awar-awar dan Nyai Gumbreg yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka.

Mengapa harus mendendam pada Ki Ageng Wanabaya ? Karena Pemerintah Pajang dalam menumpas para pemberontak telah menghimpun para jawara, pendekar yang di pimpin oleh Ki Ageng Wanabaya.

Sejak peristiwa penumpasan pemberontak itu, nama ki Ageng Wanabaya sekaligus Padepokan Arga Merbabu menjadi disegani oleh para tokoh, yang beraliran putih maupun pendukung pemerintah Pajang. Namun sekaligus menjadi musuh bebuyutan bagi orangorang yang telah dikalahkan, seperti: Tiga Penguasa dari Nusakambangan, Nyai Gumbreg si Nenek Iblis, Penguasa Gunung Sumbing dan tokoh kaum sesat dari Pantai Selatan. Untuk menghadapi keluarga Ki Ageng Wanabaya dari Gunung Merbabu, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan!

Setelah Nyai Mantyasih berdiri di fihak musuh keluarga Gunung Merbabu, dengan sendirinya sebagai murid Nyai Mantyasih, Rara Sedah Mirah terpaksa pula membela gurunya dan berdiri di fihak gurunya bermusuhan dengan seluruh keluarga besar Gunung Merbabu. Sungguh celaka bagi Rara Sedah Mirah, yang jatuh cinta pada Gunturgeni, putra dari ketua Padepokan Gunung Merbabu, bahkan Rara Sedah Mirah telah menyerahkan kehormatannya kepada lelaki keturunan Padepokan Arga Merbabu itu!***[Ki Sastra Adiguna]

Senin, 26 Mei 2014

SERAT CENTHINI GANCARAN [2]

2. Sunan Giri

Kang ana ing Kadipatèn Blambangan, garwané Sèkh Wali Lanang wus nggarbini wus ngancik nawa sasi dasa ari, wasana jabang bayi mijil jalu, pekik ing warna. Saka karsané Sang Adipati Blambangan jabang bayi kalebokaké ana kedhaga banjur dilabuh ana segara. Tan winuwus pira lawasé kendhaga kumampul-kampul ana samudra. Kendhaga tinemokaké déning sudagar kang lagi lelayaran dagang, banjur diwènèhaké Nyai Randha Sugih, warandha sing ora duwé anak. Bayi jroning kandhaga mau banjur dipupu déning Nyai Samboja diwènèhi tenger Jaka Samodra .

Nalika wus ngancik umur 12 tahun, Jaka Samodra dingèngèraké ngudi kawruh babagan agama Islam, nyantri marang Sunan Ngampèlgadhing, ing Surapringga . Gancaring carita, Jaka Samodra banjur digurokaké marang Kanjeng Sunan Ngampèl, rèhning klebu bocah kang lantip ing graita, Jaka Samodra nuhoni marang sakabèhing piwulangé Sunan Ngampèl. Ana ing kono Jaka Samodra kakadangan karo putrané Sunan Ngampèl aran Santri Bonang. Bareng wus diwasa Jaka Samodra banjur salin aran Santri Giri.

Nuju sawijining dina Santri Giri lan Santri Bonang duwé sedya ngupaya ngèlmu ing karep duwé panjang ngundhakaké kawruhé ing bagagan Saringaté kanjeng Rasul, Kur’an hadis lan uga kawruh kasampurnan menyang Mekah. Santri loro mau banjur ninggalaké Ngampèlgadhing tujumu maring Mekah kanthi numpak prau, lakuné prau mangulon urut pesisir, lakuné santri loro mau ora dicaritakaké pirang dina lawasé, nanging banjur labuh jangkar ana ing Malaka . Ketemu karo Sèkh Wali Lanang, lan santri kekaroné banjur maguru marang Sèkh Wali Sidik, bareng wus ngancik sataun anggoné maguru marang Sèkh Wali Lanang. Santri Giri lan Santri Bonang arsa nutugaké laku menyang Mekah, ananging déning Sèkh Wali Lanang ora sarujuk ing rembug.

Santri kekaroné ditundhung bali ngajawa lan madhépok ana ing Ngampèlgadhing kaparingan ‘jungkat lan jubah gamis’. Santri Giri salin aran Prabu Setmata déné Santri Bonang kaparingan tenger Sang Prabu Anyakrakusuma. Santri loro banjur budhal ngajawa, mulih maring Ngampèlgadhing, sowan Sunan Ngampèl lan ingaturaké lelakoné jroning sawarsa ana ing Malaka meguru Sèkh Wali Lanang.

Sunan Ngampèl rumangsa mongkoh ing panggalih jalaran Sèkh Wali Lanang Mlaka iku isih mitra nunggal kawruh, ing babagan kawruh lair lan batin. santri Giri sawusé nampa wejangan saka Sunan Ngampèlgadhing kinèn ngadegaké padhépokan ana Giri. Uga piwelingé Sunan Ngampèl marang santri Giri, kalamun Sunan Ngampèlgadhing wus murud ing kasidan njaluk disarèkaké jèjèr karo pasaréyané Ki Samboja, kajaba saka iku uga diwenangaké jujuluk Prabu Setmata. Sanajan kanthi jejuluk Prabu Setmata nanging ora mbawahi nagara lan kawula, iku mung jeneng abiséka ana ing Padhépokan Giri. Ing tembé Sunan Giri kang ambawani jumeneng wali linuhung, sinuhun sak tanah jawa, kabèh padha wedi asih marang kalokèngrat sinebut raja pandhita.

Sunan Giri rumangsa mongkog, banjur manembah pamit, kanthi angraup padané Sunan Ngampèlgadhing, lèngsèr saking padhépokan banjur budhal menyang Giri tanpa kanthi.
Kocapa kang ana wisma Giri, Nyai Randha Sugih iya Nyai Samboja, nandhang lelara wis suwé lan sansaya nemen, para juragan sing ana Giri padha ngrubung.

Sunan Giri nalika mlebu ngomah kagèt jalaran akèh para mitra sudagar kang padha ngrubung ibuné, banjur nyedhaki kanthi tumungkul ana ngarepané Nyai Randha Sugih iya Nyai Pinapatih iya Nyai Samboja.

Nyai Samboja kagèt dupi uninga Santri Giri kang prapta tumuli angrangkul keng putra kinuswa-kuswa waspa deres dalèwèran, sambaté memelas sih, akèh-akèh aturé nyai Sugih marang Santri Giri, saka déné sih katresnané ibu marang putr kang wus kapang, jalaran sasuwéné Jaka Samodra meguru ana ing Ngampeldhenta ora awèh warta marang nyai Samboja, kongsi dadi walangati, temahan nandhang roga.

Nyai pinapatih karo tawang tangis isih nyekeli pundhakké Sunan Giri. Nyai Samboja euis tanggap ing sasmita yèn Jaka Samodra antuk nugrahaning Hyang Akarya Jagad, katon sumunar guwayané mancur mencorong nelahi. èsmuning driya nyai Samboja wus ora kakilapan manèh yèn putrané bakal ngenggoni drajad kang linuhung.

Sunan Giri ngaturaké lelakoné wiwit ana pesantrèn Ngampèlgadhing tumeka ketemu Sèkh Wali Lanang ing Malaka, banjur kinèn ngajawa, lan uga olèh palilahé Kanjeng Sunan Ngampèlgadhing, kinèn dhedhépok ana Giri lan ngadegaké pesantrèn Giri.

Nyai Samboja rumangsa seneng lan mongkog, banjur kinèn nyampurnakaké anggoné arsa ngrasuk agama rasul. Sunan Giri banjur mejangaké kalimah sahadat loro, Nyai Samboja ngucapaké sahadat nirokaké talkiné Sunan Giri. Kanthi lega lila kang ibu padhang anggoné nampa,banjur wasiyat marang Sunan Giri kabèh bandhané supaya kanggo prabéya ngadegaké pasantrèn, déné turahané supaya di wènèhaké marang para pekir miskin lan bocah-bocah lola sing wis ora duwé wong tuwa sing mbésuk bakal dadi batihé. Welingé sing pungkasan supaya dikajèkaké ana ing Mekkah.

Sawusé ninggal wasiyat marang Sunan Giri, Nyai Samboja banjur murud kasidan jati. Layon sawusé karukti, banjur kinubur jèjèr karo Kyai Samboja. Wong-wong kang ana ing Giri pada manjing iman lan nindakaké saréngaté Rasul, padha ngibadah andarus kur’an akèh kang padha yasa masjid, gemah ripah tata raharja, ora ana wong tindak juti, kabèh padha nyandhang wutuh, mangan wareg, adoh kang dadi miskin tentrem ciptané, akèh wong saka manca désa lan kutha padha cumondhok ana Giri.

Sang raja pinandhita Sunan Giri iya Prabu Setmata. Gajah kedhaton minulya kawenthar tekan manca nagari. Sunan Giri banjur pinundhut mantu déning Sunan Ngampèlgading kadhaupaké karo putriné Nyi Ageng Ratu.  Wus atut runtut anggoné mangun baléwisma, lestari apuputra wolu cacahé jalu lan wèstri. Nyai ageng ratu garwané Sunan Giri kondur kasidan jati ndhisiki, layon wus karukti banjur kapetak nunggal karo maratuwa Kyai Samboja apadéné Nyai Samboja.

SERAT CENTHINI GANCARAN [1]

1. Sèkh Maulana Ishaq

Nalika ing jamané Sri Maharaja Brawijaya kang ngratoni Krajan Majalengka , ana ngulama saka Nagara Jedah asesilih Sèh Maulana Ishaq utawa Sèh Wali Lanang,  jumujug ana ing Ngampèldhenta, saprelu nemoni Sunan Ngampèl.  Sèh Maulana Ishaq cumondhok ana Ngampèlgadhing, sawuse cukup kapreluwane marang Sunan Ampel, banjur nerusaké laku arahé ngidul –ngétan anjog menyang Blambangan, lèrèn ana ing Désa Purwasata.

 Adipati Blambangan Menak Sembuyun, peputra amung siji sesilih Dyah Ayu Sekardadhu, 
nalika samana sang putri kang sulistya ing warna, lagi mapak birahi,  nandhang lelara sing nguwatiri, madal sakèhing tamba, kang andadèkaké sungkawané Sang Adipati. 

Nuju ana ing paséwakan rakyan  Patih Samboja monjuk atur, yèn ana wong waskitha sawenèhing ulama saka Jedah sing lagi ngajawa, peparab Sèkh Walilanang, kang dhedhépok ana ing dhusun Purwasata, manut ujaring akèh yèn Sèkh Wali Lanang mau bisa ngusadani memalané sang Putri. Sang Adipati bareng mireng aturé Ki Patih Samboja, luwih katrima, mula banjur utusan supaya methuk Sèkh Wali Lanang, ingaturan ngusadani putriné Kanjeng Adipati, sawusé teka ana ing kraton Sang Adipati gupuh anggoné nemoni tamuné.  Awit saka pamrayogané Patih Samboja Sang Adipati Blambangan banjur njaluk tulung marang Sèkh Wali Lanang, supaya putriné bisa waluya jati.

Kala samana Sèkh Wali Lanang kang sumaguh ing janji sigra ngayahi jejibahan ngusadani sing dadi panandhangé Sang Putri Kedhaton. Wusana saka sihing gusti Sang Putri  bisa waluya jati, saka gumbiraning Sang Adipati klawan garwa banjur ananting Sèkh Wali Lanang arsa pinundhut mantu, Sang Maulana mung rumanti ing pakarti.

Ora dicaritakaké anggoné amangun pebrayan, ananging atut runtut pindha mimi lan mintuna. Suwé anggoné cumondhok ana ing Kadipatèn Blambangan, Sèkh Wali Lanang matur marang Adipati Blambangan kinèn ngrasuk agama Islam, nanging Sang Adipati panggah ora gelem, satemah Sèkh Wali Lanang cuwa atiné uga isin marang maratuwa.

Ana sawenèhing ratri Sèkh Wali Lanang linggar saka kadipatèn banjur ninggalaké Blambangan, lunga menyang Malaka , garwané sing lagi nggarbini tinilar, lan andadèkaké sang putri nandhang roga. Sapungkuré Sèkh Wali Lanang banjur ana pagebluk kang anekani ing tlatah Blambangan, akèh kawula kang ketaman pagebluk satemah akèh pepati.

Sang Adipati Blambangan muntab kanepsoné jalaran anané pagebluk dinuwa saka trekahé Sèkh Wali Lanang, banjur Patih Samboja kèmbèt prakarané Sèkh Wali Lanang lan nampa bendu saka Sang Prabu, Ki Patih Samboja dilorod kalungguhané kapapanaké ana drajad kang luwih asor.

Ki Samboja rumangsa wirang banjur linggar saka Blambangan lan suwita marang Sang prabu Brawijaya ana ing Majapahit. Déning Prabu Brawijaya kang nguningani lelakoné Ki Samboja, banjur dipapanaké ana ing Giri , nanging kabèh mau ora suwé, awit Ki Samboja banjur tilar donya lan uga disarèkaké ana ing Giri.

Kabèh bandha tinggalané Ki Samboja lestari direngkuh Nyai Samboja, lan banjur kaceluk Nyai Randha Sugih , ngluwihi sugihé para sudagar.

Sêrat Makutha Rama


Ing pakêliran wontên lampahan carangan Wahyu Makutha Rama, ingkang methik saking Sêrat Makutha Rama. Wontên ing Sêrat Makutha Rama punika suraosing gati babagan kawruh Hastha Brata [ hastha= wolu, brata = laku utama, prasêya, abot]. 

Bagawan Kesawasiddhi [ Sri Kresna] punika nggêlar wulang Hastha Brata dhatêng dyan Harjuna nalika sowan ing pratapan Kutha Runggu.

Hastha brata anggambarakên kuwajibanipun ratu anggènipun ngêrèh prajanipun tuwin anjagi kawilujênganipun. Wontên ing padhalangan sampun têmtu kémawon mawi dipuntambahi adêgan warni-warni, prêlunipun kanggé nggigah raosipun para ingkang sami ningali.

Adêgan-adêgan ingkang wigatos ingkang lèrègipun dhatêng babagan panggulawênthah, panggulawênthahing batos ingkang tumuju dhatêng luhuring bêbudèn.Piwulang bab luhuring bêbudèn punika prêlu dipun-gêlar wontên ing pundi-pundi, amargi wêkdal samangké jagad sawêg pêtêng.

Manungsa sami ical kamanungsanipun lajêng kadunungan watak kéwan. Rêtuning bawana ing wêkdal sapunika jalaran saking manungsa ingkang sampun kasupèn dhatêng ajinipun piyambak.

Pratélan wulangipun Prabu Rama dhatêng Wibisana wontên Wolung prakawis, ingkang dipunwastani Hastha Brata. Wosipun wêlingipun Prabu Ramawijaya dhatêng Wibisana ing bénjang manawi jumênêng ratu sagêda anglênggahi watak ingkang wolung prakawis. Jèrènganipun kados ing ngandhap punika.

1. Ratu punika kêdah gadhah watak kados wataking Bathara Endra. Inggih punika ngudanakên wêwangi, botên pilih kasih. Têtêmbungan makatên wau kajêngipun para ratu botên kénging ambédak-bédakakên tiyang satunggal lan satunggalipun. Kajawi punika ratu wajib anjagi supados tansah arum asmanipun.

2. Kêdah anggadhahi watak kadosdéné watakipun Bathara Yama. Têgêsipun ratu punika kawênangakên midana utawi matrapi paukuman dhatêng sadaya ingkang lêpat. Ananging anggènipun ngêcakakên pidana wau kêdah anglênggahi kaadilan tanpa pilih. Ing paribasan cara Jawi katêmbungakên ora baukapiné. Utawi ora êmban cindhé êmban siladan. Têntrêming praja punika manawi ingkang ngasta pusaraning praja sagêd anglênggahi adil. Salah satunggaling srana sagêd anglênggahi kaadilan wau kêdah gadhah kawicaksanan.

3. Kêdah gadhah watakipun Bathara Surya. Inggih punika ambêg paramarta, sagêd angrêsêpi dhatêng sadaya tiyang. Saking pamanggih kula wontên ing ngriki lênggahing dhemocratie, nanging geestelijke democratie, amargi manungsa punika manawi sagêd angrêsêpi tiyang sanès têmtu badhé nuwuhakên supêkêtipun kawontênan.

4. Kêdah gadhah watak kadosdéné wataking Bathara Candra, inggih punika watak angapura. Milanipun sadaya ratu punika kagungan wêwênang maringi pangapuntên dhatêng tiyang ingkang nandhang lêpat. Cara jaman samangké dipun têmbungakên grasi. Anggènipun maringi pangapuntên wau mêdal saking raos ingkang luhur. Kadosdéné pratelanipun Mahatma Gandhi wontên ing sêratipun ingkang nama De Ethische Religie.

5. Kêdah gadhah watak kadosdéné watakipun Bathara Bayu. Têgêsipun ratu punika kêdah nyumêrêpi sadaya kawontênaning praja lan kawulanipun. Punika manawi kalaras kalihan jaman samangké sampun cocog. Amargi para ratu ing jaman samangké punika kêdah nyumêrêpi dhatêng sadaya kawontênan supados anggènipun anata prajanipun sagêd pratitis. Mila para ratu punika têmtu kagungan nayaka ingkang kajibah ngaturi pirsa thêk kliwêring nagari, lan ingkang dipun pundhuti timbangan manawi badhe ngawontênakên tatanan ing prajanipun.

6. Kêdah gadhah watak kadosdéné watakipun Bathara Kuwéra. Inggih punika sagêd damêl sakécaning manahipun sintên kemawon. Dados inggih para kawula, para narapraja tuwin para pitêpanganipun.

7. Kêdah gadhah watak kadosdéné watakipun Bathara Baruna. Inggih punika kagungan saliring kagunan (mila wontên têtêmbungan sêkti mandraguna) lan sagêd nandukakên kagunan wau kanggé damêl tata têntrêm, tuwin karaharjaning prajanipun.

8. Kêdah gadhah watak kadosdéné wataking Bathara Rama. Têgêsipun ngupa boga. Kajêngipun wulangan punika para ratu anjagia supados para kawulanipun sagêd ngupa boga pados rêjêki kanggé cagak gêsangipun tuwin tata têntrêming prajanipun.

Ing basa Jawi wontên têtêmbungan ingkang mratélakakên bilih para sudagar punika minangka dados busananing praja. Déné para tani dados bujaning praja.

Manawi kagathukakên kalihan kawontênanipun jaman samangké kuwajibanipun para nata inggih punika ingkang ngasta pusaraning praja kêdah tansah mindêng dhatêng kawontênaning para kawula sagêdipun sami gadhah pakaryan kanggé gêsangipun.Sampun ngantos wontên para kawula ingkang sami botên gadhah padamêlan awit punika ingkang badhé ndadosakên ruwêting kawontênaning praja.

Hastha Brata punika manawi dipunmanah ingkang lêbêt mila pancèn isi Idealisme ingkang jêmbar têbanipun. Dados sanajan kanggé ing jaman samangké Hastha Brata punika taksih agêng paédahipun tumrap para tiyang ingkang olah praja utawi lêlumban wontên ing kalangan politik.

Amargi lajêng sumêrêp punapa ingkang kêdah dipuntindakakên murih sagêd urun kanggé raharjaning utawi kamulyaning pêbrayan.

Sampun mêsthi kémawon jèrènganipun kénging dipunpanjangakên, kawruh ingkang sami kaimpun saking kilènan sagêd kanggé bumbonipun Hastha Brata, wulangipun Sêrat Makutha Rama.